top of page

Sumpah Pemuda : Sebuah Pesan

Jika kamu melewati jalan raya ciledug, tepatnya di depan pertokoan Ciedug, jalan dua arah yang sangat ramai dan belum terpasang lampu lalu lintas, kamu akan mendapati sebuah sosok polisi yang tak asing lagi bagi masyarakat sekitar sana.

Polisi lalu lintas tersebut mengatur mobil agar bergantian berhenti dan berjalan, mengupayakan agar arus tersebut tidak macet oleh angkot yang mendadak berhenti, atau bus yang suka tiba-tiba memotong jalan.

Polisi lalu lintas tersebut mengenakan seragam polisinya, membawa peluit polisi lengkap dengan tongkatnya. Tapi satu yang berbeda, polisi tersebut tidak memiliki kaki. Meski demikian hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap mengatur lalu lintas.

Tangan kirinya menyetop kendaraan dari lajur kiri, kemudian menyuruh kendaraan dari lajur depan untuk maju, menggantikan lampu lalu lintas. Sebagian orang yang kebetulan lewat seringkali tampak tertegun melihat kondisi polisi tersebut dan agak memperlambat kendaraan yang dikemudikannya.

Ketika ditanyai mengenai apa yang terjadi pada kedua kakinya, polisi tersebut tidak mau menjawabnya. Dia tetap sibuk mengatur lalu lintas yang padat siang itu. Sesekali beberapa pengemudi tidak menggubris aturan polisi tersebut. Sebagian memang tampak acuh, sebagian lagi memang tidak tahu karena keberadaan polisi tersebut tidak terlihat. Karena tidak memiliki kaki, tinggi polisi tersebut hanya berkisar 80 cm saja atau setara dengan setengah badan mobil.

Seorang pemuda tampak seringkali membantu polisi tersebut untuk mengatur lalu lintas daerah tersebut, “Kalau saya kan bisa lari kesana-kemari, menyetop kendaraan atau bagaimana biar kerjaannya Pak Polisi tersebut lebih cepat saja,” kata pemuda tersebut yang akrab dipanggil Eki.

Eki mengaku juga tidak mengenal pak Adi, hanya beberapa kali pernah lewat dan melihat saja. Polisi lalu lintas tersebut masih tampak tegas dalam mengatur lalu lintas, membunyikan peluit dan Eki yang membantu untuk mengarahkan jalan lalu lintas tersebut.

Tak jauh dari sana, seorang pedagang sandal berusia 64 tahun dan telah memiliki delapan orang cucu masih sibuk melakukan aktivitas dagangnya. “Ya cukuplah untuk beli beras,” sahutnya.

Sebelumnya Bapak yang akrab disapa Pak Suwarso ini sempat bekerja di perhotelan sebagai pembersih kamar hotel, “Di Mandarin hotel 11 tahun, kemudian pindah ke Hilton selama 16 tahun,”. Memasuki masa pensiun, pak Suwarso sebelumnya sudah membekali diri dengan keahlian berdagang dan membetulkan sepatu.

“Yang penting pemuda jaman sekarang jangan malas. Jangan kebanyakan tidur, “

Semangat tersebut juga diturunkan kepada keempat anaknya. Saat ini anak terakhir juga menjadi guru salah satu SMA di Jakarta Barat. Ia selalu berpesan untuk anaknya saat mengajar agar selalu menyampaikan bahwa anak muda harus bekerja keras.

Pagi hari pak Suwarso menyempatkan diri untuk mengantar cucunya sekolah, kemudian Pak Suwarso membersihkan mushola, dan sorenya menyempatkan diri menjemput cucunya sebelum berkeliling berdagang sepatu. Jika hari biasa berdagang di pasar, kalau hari minggu ia mangkal di depan salah satu rumah.

Setiap orang mungkin memiliki kekurangan, kondisi fisik maupun kemampuan finansial mereka. Namun masing-masing memiliki semangat untuk berjuang agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Kita tidak harus susah payah berdagang sandal di pinggir jalan ataupun memiliki kondisi fisik yang kurang. Jadi jangan merasa sebagai orang yang tidak beruntung hanya karena sedikit menghadapi masalah di kehidupan. Bukankah kita masih muda?

PROMOTE

bottom of page